Save Our Earth

Senin, 27 Oktober 2014

Pandangan Tentang Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI)






Saat ini fenomena kerusakan lingkungan terjadi di seluruh sektor, salah satunya adalah sektor pertambangan. Pertambangan sebagai industri yang mempunyai resiko lingkungan yang tinggi selalu mendapatkan perhatian khusus oleh publik. Salah satu masalah yang sampai saat ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral (DESDM) adalah maraknya kegiatan pertambangan tanpa ijin (PETI). Istilah PETI semula dipergunakan untuk pertambangan emas tanpa izin, tetapi dalam perkembangan selanjutnya permasalahan PETI tidak hanya pada komoditi bahan galian emas tetapi juga diterapkan pada pertambangan tanpa izin untuk bahan galian lain baik Golongan A, B maupun C (PP No. 27 Tahun 1980 Tentang Penggolongan Bahan-Bahan Galian) yang biasanya termasuk pada pertambangan skala kecil (PSK).
Di berbagai daerah di Indonesia kegiatan pertambangan bahan galian C sepertinya sudah menjadi lumrah. Maraknya kegiatan penambangan bahan galian C ternyata memberikan masalah bagi daerah karena sebagian besar penambangan dilakukan tanpa memiliki izin. Sebut saja daerah-daerah seperti Jawa Barat yang memiliki jumlah penduduk yang padat dengan tingkat kebutuhan bahan galian golongan C seperti : pasir, batuandesit, tanah urug, kapur dsb. yang digunakan untuk keperluan konstruksi diambil dari dareah seperti Sukabumi, Bogor, Cianjur, Bandung, Cirebon dan Indramayu sebagian besar dilakukan pada skala kecil dan tidak memiliki ijin usaha penambangan berupa Surat Ijin Pertambangan Daerah. Keadan demikian membuat pemerintah daerah sulit dalam mengawasi dan mengotrol kegiatannya, akibatnya banyak kasus lingkungan yang ditimbulkan dari kegiatan pertambangan tersebut.

Dampak Lingkungan Akibat Penambangan Liar
 Logam berat lain As dan Cd, logam logam ini berasal dari batuan-batuan yang mengandung biji emas,
 logam-logam ini berasosiasi dengan emas, karena sifat sifat kimia dari logam
tersebut. Dampak terhadap manusia dan lingkungan yang paling parah adalah adanya sifat Bio magnifikasi dimana logam-logam tersebut akan ikut berpindah dari tubuh predator awal hingga terakumulasi dan terus bertambah didalam tubuh predator akhir (ikan ke manusia).

Akibat Negatif , terdiri dari
Akibat secara fisik ;
 pencemaran terhadap air, baik berupa erosi maupun larutnya unsur-unsur logam berat (leaching) karena sistim penirisan yang tidak baik,
 pencemaran udara berupa debu dan kebisingan oleh kendaraan pengangkut,
 perubahan kontur,
 perubahan alur sungai, akibat penambangan pasir sungai,
 longsor dikarenakan pembuatan jenjang yang terlalu curam, dan
 subcidence, terjadi pada penambangan yang dilakukan secara bawah tanah.
Akibat non fisik :
 pendapatan pemerintah dari sektor pertambangan berkurang
 konflik sosial, terjadinya persaingan antar buruh tambang, dan
 terganggunya keiatan sektor lain, seperti pertanian dikarenakan rusaknya irigasi dan perubahan alur sungai, dan perubahan kontur.

Beberapa faktor yang mendorong meningkatnya kegiatan PETI penyebab adalah sebagai berikut ;
1. Karakteristik usaha pertambangan
 Usaha pertambangan pada umumnya memberikan keuntungan materi yang relatif tinggi, karena beberapa bahan galian tanpa melalui pengolahan langsung dapat dijual.
 Permintaan terhadap pasar bahan galian yang relatif tinggi, terutama pada daerah-daerah yang mempunyai pertumbuhan pembangunan fisik yang tinggi.
 Tingkat pengusahaan yang mudah, terutama untuk bahan galian golongan C.
 Umur tambang yang sangat singkat, beberapa diantaranya lebih singkat dari lamanya proses perijian, karena sebagain besar berupa pertambangan sekala kecil.
2. Ketidaksiapan pemerintah daerah
 Proses perijinan yang rumit dan memakan waktu yang lama,
 Terjadinya praktek suap dan pungli yang menyebabkan retibusi dan pajak tidak sampai ke kas pemerintah,
 Lemahnya pengawasan terhadap usaha pertambangan, dan
 Lemahnya penegakan hokum

Dalam menyelesaikan masalah peti PETI diatas perlu dilibatkannya stakeholder yang bertanggung jawab yakni ;
1. Pemerintah, sebagai leading sector-nya adalah DESDM di tingkat pusat dan Dinas Pertambangan pada tingkat daerah.
2. Pengusaha pertambangan, baik perorangan maupun kelompok.
3. Masyarakat, terutama masyarakat di sekitar kegiatan pertambangan dilakukan, mempunyai fungsi pengawasan, baik melaui lembaga swadaya masyarakat (LSM) maupun melalui kelompok-kelompok lain.
Solusi dalam menyelesaikan masalah PETI harus dilakukan bersama-sama antar beberapa stakeholder yang terdiri dari ;
1. Pemerintah melakukan langkah-langkah sebagai berikut ;
Mempermudah proses perijian pertambangan melaui sistim satu atap, sehingga waktu setra biaya yang dibutuhkan dalam memproses perijinan lebih sedkit dan singkat.
Melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan pertambangan.
Memberikan penyuluhan pada masyarakat dan pengusaha pertambangan tentang kesadaran lingkungan.
Melakukan pembinaan dan bimbingan teknis terhadap pengusaha pertambangan.
Membuat zonasi wilayah pertambangan sehingga tidak terjadi tumpang tindih dengan sektor lain dan penyebaran kerusakan lingkungan dapat dicegah.
Memberikan alternatif usaha lain terhadap pengusaha dan buruh tambang dengan cara memberikan tambahan keterampilan bagi pengusaha dan buruh tambang.
2. Masyarakat dan LSM
 Bekerjasama dengan pemerintah memberikan penyuluhan terhadap buruh dan pengusaha tentang kesadaran lingkungan.
 Mendorong dibentuknya kelompok-kelompok baik buruh maupun pengusaha tambang yang difasilitai oleh pemerintah.

Masihkah Kita Akan Menemukan Ikan Sungai? Melihat Kejernihan Sungai Dan Merasakan Kesegarannya.. Kebisingan Yang Didengarkan Setiap Hari Semakin Merajalela.. Sambil Menunggu Pemerintah Bertindak, Seharusnya Para Penambang Sadar Sendiri Akibat Yang Telah Mereka Perbuat...


Rabu, 17 September 2014

Pandangan Terhadap Maraknya Kelapa Sawit Di Kalimantan Barat

Kelapa sawit (Elaeis) adalah tumbuhan industri penting penghasil minyak masak, minyak industri, maupun bahan bakar (biodiesel).Perkebunannya menghasilkan keuntungan besar sehingga banyak hutan dan perkebunan lama dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Indonesia adalah penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Di Indonesia penyebarannya di daerah Aceh, pantai timurSumatra, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.



Kelapa sawit didatangkan ke Indonesia oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1848. Beberapa bijinya ditanam di Kebun Raya Bogor, sementara sisa benihnya ditanam di tepi-tepi jalan sebagai tanaman hias di DeliSumatera Utara pada tahun 1870-an. Pada sa at yang bersamaan meningkatlah permintaan minyak nabati akibat Revolusi Industripertengahan abad ke-19. Dari sini kemudian muncul ide membuat perkebunan kelapa sawit berdasarkan tumbuhan seleksi dari Bogor dan Deli, maka dikenallah jenis sawit "Deli Dura".
Pada tahun 1911, kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial dengan perintisnya di Hindia Belanda adalah Adrien Hallet, seorang Belgia, yang lalu diikuti oleh K. Schadt. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunan mencapai 5.123 ha. Pusat pemuliaan dan penangkaran kemudian didirikan di Marihat (terkenal sebagai AVROS), Sumatera Utara dan di Rantau PanjangKuala SelangorMalaya pada 1911-1912. Di Malaya, perkebunan pertama dibuka pada tahun 1917 di Ladang Tenmaran, Kuala Selangor menggunakan benih dura Deli dari Rantau Panjang. Di Afrika Barat sendiri penanaman kelapa sawit besar-besaran baru dimulai tahun 1910.
Hingga menjelang pendudukan Jepang, Hindia Belanda merupakan pemasok utama minyak sawit dunia. Semenjak pendudukan Jepang, produksi merosot hingga tinggal seperlima dari angka tahun 1940.[2]
Usaha peningkatan pada masa Republik dilakukan dengan program Bumil (buruh-militer) yang tidak berhasil meningkatkan hasil, dan pemasok utama kemudian diambil alih Malaya (lalu Malaysia).
Baru semenjak era Orde Baru perluasan areal penanaman digalakkan, dipadukan dengan sistem PIR Perkebunan. Perluasan areal perkebunan kelapa sawit terus berlanjut akibat meningkatnya harga minyak bumi sehingga peran minyak nabati meningkat sebagai energi alternatif.
Beberapa pohon kelapa sawit yang ditanam di Kebun Botani Bogor hingga sekarang masih hidup, dengan ketinggian sekitar 12m, dan merupakan kelapa sawit tertua di Asia Tenggara yang berasal dari Afrika.


Masalah dalam perkebunan
• Lingkungan
– Deforestasi
– Kebakaran hutan
– Pencemaran
– Resiko Pestida
• Sosial ekonomi
– Konflik Tanah
– Pelanggaran HAM (Penggunaan Kekerasan untuk Penyelesaian Konflik)
– Kemitraan Yang Tidak Adil
– Kualitas hidup buruh

Beberapa Faktor Penyebab Masalah
• Fokus pemerintah hanya pada peningkatan kwantitas Luas Lahan
• Lemah dan Tidak Adilnya Penegakan Hukum
• Mengingkari kebijakan tata ruang yang telah ada
• Praktek KKN yang cukup Kuat (terjadi Monopoli Lahan)
• Izin digunakan perusahaan sebagai motif untuk eksploitasi kayu
• Rendahnya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat Adat/lokal ; Sebagian besar lahan2 perkebunan sarat Konflik Tanah , Kecenderungan meredam masalah/konflik daripada menyelesaikannya (penggunaan kelompok – kelompok tertentu yang berpotensi terjadinya tindak kekerasan untuk meredam konflik)
• Informasi dan data aktivitas perusahaan yang tidak transparan (HGU belum diberikan aktivitas pembangunan dilakukan, ijin untuk tanaman jenis lain dikembangan tanaman kelapa sawit, luas areal yang dikelola melebihi ijin )
• Kemitraan dengan petani yang tidak konsisten (rendahnya transfer of knowledge dan transfer of technology kepada petani mitra)
Rencana sawit di Kalimantan
B. Pengaruh Konversi Lahan Perkebunan Kelapa Sawit di Kalimntan Barat

Pengaruh Konversi Perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan Barat adalah sebagai berikut :
1. Dampak perkebunan sawit terhadap pembangunan daerah
Dukungan pemerintah terhadap investor dalam memberikan peluang investasi kelapa sawit terlihat sangat berlebihan tanpa dapat memberikan aturan yang jelas terhadap resiko yang akan diderita oleh masyarakat dan daerah. Bagi perusahaan dalam menjalankan usaha tentu akan sangat menguntunkan apabila skala ekonomi yang ditargetkan memenuhi analisis usaha. Kecenderungan peningkatan luas lahan dan pengembangan investasi pada level tertentu akan menjadi tujuan utama dengan meminimalakan biaya dalam pengurusan dan perawatan hasil investasi. Eksvansi perkebunan sawit pada skala tertentu akan tetap mengalami perkembangan sampai skala ekonomi menguntungkan untuk investasi (return to scale). Namun pola ini tentu perludiperhatikan dalam pengembangan ekonomi masyarakat secara luas serta pertumbuhan ekonomi daerah, pada tingkat pertambahan pendapatan (value added) yang selanjutnya akan digunakan untuk pembangunan daerah. Permasalanannya akan menjadi rumit apabila pengembangan (eksvansi) ini pengorbanan lahan dan kawasan ekonomi potensial masyarakat seperti ; lahan pertanian yang telah dikelola secara turun-temurun.
Pengembangan pada skala tertentu juga akan menimbulkan permasalahan yang lebih luas dalam biaya pembangunan dan pengorbanan ekonomi masyarakat. Pengembangan perkebunan kelapa sawit jelas hanya melihat darisegi prospektif kepentingan peningkatan usaha pada level tertentu untuk memberikan keuntungan ekonomi pada tingkat dan bentuk pengelolaan dalam jangka panjang.semakin besar investasi akan semakin sulit untuk daerah dalam mengendalikan investasi tersebut, bisa jadi perekonomian suatu daerah akan menjadi bagian yang tidak terpisahakan oleh dampak investasi yang telah dikembangkan oleh investor. Peningkatan ini akan terlihat jelas dalam persepsi ketergantungan dan keuntungan ekonomi pada hitungan financial pengusaha bukan pada keuntungan pada tingkat masyarakat dan lingkungan.
Membesarkan investor dengan memeberikan kemudahan peizinan lunak serta memberikan konsesi dengan mudah, subsidi pajak, membangun fasilitas umum pendukung, sampai keringan bunga bank serta sederetan kemudahan lainnya. Harapan yang terkandunga di balik kemudahan yang diberikan adalah adanya pengaruh pengembangan usaha yang menguntungkan masyarakat dengan kata lain adanya rembesan ke bawah (trikle down efek) semakin besarnya keuntungan yang didapat dari investasi pada kenyataannya tidak terjadi seperti yang diharapkan, ternyata ekonomi masyarakat tidak mengalami perkembangan yang berarti. Masyarakat yang bekerja secara langsung tidak menikmati hasil lebih dari sebelumnya sebagai pengumpul hasil hutan, artinya pendapatan yang diterima selama ini dari sawit tidak lebih baik dari pendapatan sebelumnya.
2. Sawit mengahancurkan budaya Dayak
Tidak dapat dipungkiri bahwa kini kelapa sawit menjadi komoditi ekspor yang sangat menguntungkan. Sawit menurut hasil penelitian dari PORIM (Palm Oil Research Institute of Malaysia), dapat menghasilkan bahan cat, resin, krayon, lilin pengganti lemak coklat dan empat jenis lemak roti. Pengolahan minyak sawit lebih jauh lagi bisa menjadi bahan pelengkap untuk membuat sabun, deterjen, sampoo, margarine, bahan baku kosmetik, vitamin A, vitamin E dan minyak goring.
Namun di luar semua kegunaan produk yang dihasilkan dari kelapa sawit, kita tidak boleh menutup mata terhadap kerugian yang ditimbulkannya, khususnya bagi orang dayak. Kerugian ini tak terhingga nilainya. Nilai budaya dayak yang paling terancam dengan masuknya sawit adalah budaya perladangan.semua suku dayak yang ada di Kalimantan Barat memiliki tradisi berladang. Dalam tradisi berladang terdapat kekayaan ritual dan spiritual yang luar biasa. Orang Dayak melakukan penghormatan yang luar biasa terhadap keseimbangan alam. Saat mulai berladang, orang dayak memilih dengan teliti lokasi yang hendak dijadikan ladang. Pada kawasan hutan rimba adalah terlarang untuk berladang. Pembukaan ladang juga kaya dengan makna spiritual warisan nenek moyang. Ritual perladangan ini mencapai puncaknya dengan diadakannya pesta panen untuk mengucap syukur atas hasil panen yang baik (naik dango,gawai). Ketika orang Dayak menerima sawit maka dengan sendirinya, tidak akan ada lagi kegiatan pesta panen padi. Masuknya sawit dengan sendirinya menghapus ritual pesta panen padi. Nenek moyang orang Dayak sama sekali tidak pernah mengajarkan kepada anak cucunya mengadakan pesta panen sawit. Perlahan tapi pasti, hancurlah identitas orang Dayak. Sesuatu yang tidak akan pernah bisa tergantikan oleh apapun di dunia ini.
3. Sawit merugikan ekonomi Dayak
Masuknya perkebunan dengan sendirinya menggusur pohon-pohon karet, buah-buahan, tembawang dan hutan milik masyarakat. Kerugian ini tak terhitung nilainya. Tembawang buah-buahan adalah sumber ekonomi untuk dijual; saat musim panen tiba.hutan adalah tempat mengambil kayu baker, ramuan rumah dan lokasi berburu. Semuanya bisa didapat dengan gratis. Sementara jika sawit masuk maka tidak tersedia lagi kayu baker, ramuan rumah,pakis dan rebung serta binatang buruan.
Tidak mungkin menggunakan pelepah sawit untuk kayu baker. Yang terjadi adalah semuanya harus dibeli dengan uang. Tidak tersedia lagi sumber makanan dan protein yang gratis untuk masyarakat. Binatang buruan yang selama ini menjadi sumber protein tidak akan mau bertahan hidup di kebun sawit.
4. Sawit membuat Dayak kehilangan tanah
Pola apapun yang dipakai oleh perusahaan sawit entah itu PIR-BUN, PIR-SUS, KKPA semua adalaha sama. Ada pihak yang menjadi petani ada pihak yang menjadi pemilik modal yakni perusahaan. Orang yang ingin menjadi petani sawit harus menyerahkan sejumlah tanah untuk dipakai sebagai lokasi sawit. Tapi tanah ini tidak dianggap sebagai modal yang ditanam. Menurut aturan pemerintah, setiap orang yang hendak menjadi petani sawit harus menyerahkan 7 ha lahan untuk mendapatkan lahan seluas 3 ha. 2 ha tanaman perkebunan, 0,75 ha lahan pangan, dan 0,25 merupakan lahan perkarangan dan bangunan rumah seluas 5X6 meter. Belum jadi petani saja sudah rugi.
5. Sawit membuat orang menjadi penghutang
Saat menjadi petani, orang akan langsuing terikat hutang dengan pihak perusahaan dan bank. Pada tahun 1998, seorang petani sawit di Sekadau dengan sendirinya berhutang kepada perusahaan sebanyak Rp 11.438.000. hutang ini harus dibayar dengan memotong 30% dari hasil sawit petani yang dijual kepada perusahaan. Jadi sedikit demi sedikit, orang dayak kemudian menjadi penghutang dan dimiskinkan oleh perkebunan sawit.
6. Sawit merusak lingkungan
Penanaman sawit umumnya dilakukan secara besar-besaran. Ratusan ribu hektar lahan dibabat hanya untuk menanam sawit. Dengan sendirinya akan terjadi kerusakan ekosistem dan lingkungan alam. Menurut Dr.Gusti Zakaria Anshari, Dosen Ilmu Tanah Untan, terjadi perubahan besar terhadap lingkungan dengan masuknya sawit. Pembukaan lahan untuk perkebunan sawit unsur-unsur hara (kesuburan ) tanah akan sangat banyak hilang. Akan banyak dampak hilangnya unsur hara (kesuburan tanah). Menurut Dr. Gusti Zakaria Anshari dapat menyebakan terjadi pendangkalan sungai, kemandulan tanah dan musnahnya keanekaragaman hayati.


Wahai Para Orang Tua...
Tidakkah Engkau Memikirkan Masa Depan Anak-Anakmu..?
Hilangnya Unsur Hara Pada Tanah Bekas Perkebunan Sawit Tidak Akan Bisa Untuk Menanam Tanaman Pokok...
Mau Makan Apa Anak-Anakmu?